Selasa, 17 Februari 2009

PROFIL CALEG KITA



Tate Qomaruddin, Lc

Caleg DPRD Jabar No Urut 1
Dapil Kota Bandung & Cimahi





TATE QOMARUDDIN, Lc
Pembela Raky
at, Pengemban Amanah Ummat


Tate Qomaruddin, Lc. Biasa disapa Ust Tate, lahir di Tasikmalaya, 24 Januari 1965. Pendidikannya berlatar belakang pesantren sejak tingkat SD hingga SMA. Untuk memperkuat dan memperdalam ilmu dibidang keagamaan (khususnya), iapun hijrah ke Jakarta dan kuliah di Fakultas Syari'ah pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA). Di Jakarta inilah kesadaran, pemahaman dan kiprah dakwah dan politiknya ditempa.

Kiprah dakwahnya, mengantarkan beliau melanglang buana untuk melakukan safari dakwah ke beberapa negara Eropa, seperti: Jerman, Belanda, Inggris dan Prancis, tahun 1995. Dan pada tahun 2000-2001 kembali beliau melakukan perjalanan dakwah ke Australia.

Beliau sangat percaya, bahwa Indonesia pada umumnya dan Jawa Barat pada khususnya dapat menjadi lebih baik dan masyarakatnya lebih sejahtera dengan syarat:
para pemangku kepentingan, baik pemerintah, anggota lembaga legislatif dan komponen lain berpegang teguh pada kebenaran, menjalankan tugas secara ikhlas dan profesional serta tidak memperturutkan hawa nafsu keserakahan pada harta kekayaan.

Beliaupun menganut keyakinan bahwa, politik bisa bersih dan tidak harus kotor. Tak ubahnya sektor kehidupan lainnya seperti ekonomi dan budaya. Semuanya jadi kotor kalau di kendalikan oleh orang-orang kotor dan korup. Tapi sebaliknya, baik politik, ekonomi, maupun budaya bisa indah, berguna dan memberdayakan bila dikendalikan oleh orang jujur, berakhlak baik dan beriman kepada Alloh SWT.

Selama lebih kurang empat tahun menjalani tugasnya sebagai anggota DPRD Jawa Barat periode 2004-2009, beliau telah berusaha secara serius untukmenjalankan tiga fungsi DPRD: Legislasi, Anggaran dan Pengawasan. "Berpolitik adalah bagian dari ajaran Islam dan pengabdian kepada Alloh SWT." Tegasnya.

Kamis, 12 Februari 2009

Kepedulian


Dari Hudzaifah Bin Yaman r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, ”Siapa yang tidak ihtimam (peduli) terhadap urusan umat Islam, maka bukan golongan mereka.” (HR At-Tabrani)

Hadits ini banyak diriwayatkan oleh ahli hadits dengan lafadz dan sanad yang berbeda. Dan dari semua sanad yang berbeda, para ulama hadits mempermasalahkan keshahihannya. Tetapi para ulama sepakat bahwa secara lafadz dan makna hadits ini adalah benar dan tidak bertentangan dengan nilai Islam yang universal. Secara makna hadits ini sesuai dengan nilai-nilai Islam yang terkait dengan ukhuwah Islamiyah, baik yang disebutkan dalam Al-Qur’an maupun hadits. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” (Al-Hujuraat: 10)

Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang-orang beriman dalam kecintaan, kasih-sayang dan ikatan emosional ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit, mengakibatkan seluruh anggota tidak dapat istirahat dan sakit panas.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Ukhuwah

Ihtimam atau kepedulian, perhatian dan keprihatian kepada nasib umat Islam adalah kata kunci dari ukhuwah Islam. Kepedulian menunjukkan kepekaan hati dan jiwa yang hidup sehingga ketika melihat saudaranya menderita, terzhalimi dan sakit, maka ia akan merasakan apa yang dialami saudaranya. Kemudian berupaya sekuat tenaga memberikan bantuan yang bisa dilakukan.

Tiada ukhuwah tanpa kepedulian. Dan ukhuwah merupakan bukti dari keimanan seseorang. “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara….” (Al-Hujuraat 10).

Husnuzhon

Tingkatan ukhuwah yang paling rendah adalah husnudzon (berbaik sangka) atau bersih hati (salamatul qalb) dan tidak melukai hati saudaranya. Firman Allah Ta’ala, ”….dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)

Dalam sebuah hadits riwayat At-Tirmidzi, Al-Hakim, dan An-Nasai, Anas bin Malik r.a. berkata, ketika kami sedang bersama Rasulullah saw., beliau bersabda, “Akan datang sekarang seorang dari penghuni surga.” Maka muncullah seorang dari Anshar, janggutnya basah bekas wudhu dan tangan kirinya membawa sandal. Keesokan harinya, Rasulullah saw. berkata lagi, “Akan datang sekarang seorang dari penghuni surga.” Maka datanglah lelaki itu dalam kondisi seperti kemarin. Keesokan harinya, Rasulullah saw. berkata seperti kemarin. Dan muncullah lelaki itu. Maka tatkala lelaki itu bangun, Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata, ”Saya berselisih dengan ayahku dan berjanji tidak masuk kerumahnya tiga hari. Jika anda membolehkan saya tinggal di rumahmu sampai janjiku selesai, maka aku akan lakukan.” Maka lelaki itu berkata, ”Boleh.”

Berkata Anas, ”Abdullah tidur di rumahnya. Di malam pertama, tidak melihatnya sholat malam, kecuali ketika dia akan tidur melakukan dzikir dan takbir sampai bangun untuk shalat Shubuh. Saya tidak mendengarnya berkata kecuali yang baik-baik. Ketika sudah lewat tiga hari, saya hampir meremehkan amalnya dan berkata: ”Wahai Abdullah, sesungguhnya aku tidak berselisih dan bermusuhan dengan ayahku, tetapi aku mendengar Rasulullah saw. berkata tentangmu tiga kali dalam tiga majelis, bahwa akan datang kepada kalian seorang penghuni surga. Maka muncullah Anda tiga kali. Saya ingin tinggal di rumah Anda dan melihat amal Anda. Tetapi saya melihatnya biasa saja. Ketika aku hendak pergi, dia memanggilnya dan berkata, ”Apa yang aku lakukan seperti yang Anda lihat, lebih dari itu, saya tidak pernah dengki pada seorangpun dari umat Islam, tidak hasad atas kebaikan yang Allah berikan kepada mereka.” Maka berkata Abdullah bin Amru padanya, ”Inilah yang telah mengantarkan Anda (pada derajat yang tinggi, sehingga sudah mendapat jaminan masuk surga dari Rasululah saw.), dan ini yang kami belum mampu.”

Mencintai untuk Saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya

Tingkatan ukhuwah pertengahan adalah merasakan apa yang dirasakan saudaranya, mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana mencintai kebaikan untuk dirinya sendiri. Rasulullah saw. Bersabda, “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga mencintai untuk saudaranya sebagaimana mencintai untuk dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim).

Itsaar

Tingkatan ukhuwah tertinggi adalah itsaar, atau mengutamakan saudaranya atas diri sendiri dalam masalah keduniaan. “….mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan….” (Al-Hasyr: 9)

Kaum Anshar adalah kelompok sahabat yang diabadikan Al-Qur’an karena sifat itsaarnya yang sangat dominan. Mereka di antaranya Sa’ad bin Raby, Abu Thalhah dan istrinya. Disebutkan ada orang Anshar yang tulus mencintai, tanpa pamrih, dan mengutamakan kawan lebih dari diri sendiri, meskipun mereka merasa lapar. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, merekalah orang yang berbahagia dan beruntung. Dalam hadits riwayat muslim dari Abu Hurairah, sepasang suami istri yang memenuhi perintah Rasulullah untuk memberi makan musafir yang kelaparan itu adalah Abu Thalhah dan Ummu Sulaim (Rumaisha binti Milhan). Mereka sendiri malam itu segera menidurkan anak-anak mereka yang lapar dan berpura-pura makan agar tamu mereka makan dengan tenang. Padahal yang sedang disantap oleh tamu mereka itu adalah satu porsi terakhir yang mereka miliki hari itu.

Munthalaq Dakwah

Kepedulian juga merupakan titik tolak dan langkah awal dari dakwah. Seorang yang tidak peduli dan prihatin dengan kondisi umatnya tidak akan mungkin bergerak dan melangkah melakukan dakwah. Oleh karena itu ketika Abbas As-Sisi sedang berjalan dengan gurunya Imam Syahid Hasan Al-Banna, Abbas As-Sisi mendengar informasi bahwa Bosnia jatuh ke tangan orang kafir. Ia berkata, ”Saya prihatin dan sedih akan nasib umat Islam di Bosnia.” Maka dengan spontan Imam Syahid Hasan Al-Banna mengatakan:” Anda telah mulai wahai Abbas”.

Sebelumnya pemimpin para nabi dan pemimpin seluruh umat manusia, Rasulullah Muhammad saw., ketika pertama mendapat risalah dakwah, beliau mengatakan, ”Habis sudah waktu untuk tidur, wahai Khadijah.” Habis sudah waktu untuk bermain-main dan senda gurau. Habis sudah waktu untuk bersenang-senang di tengah umat Islam yang sedang ditindas dan dibantai, di tengah umat Islam yang terbelakang, miskin, dan bodoh, di tengah umat Islam yang lalai dan larut dengan kemaksiatan. Habis sudah waktu untuk istirahat, rekreasi, dan tertawa-tawa di tengah umat Islam Palestina yang disembelih dan ditumpas habis oleh Zionis Yahudi. Habis sudah waktu untuk santai di tengah umat Islam Irak yang sedang dijajah dan diadu domba oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Demikianlah sikap yang mesti dimiliki oleh para pemimpin umat.

Dan ciri khas pemimpin sangat terkait dengan kepedulian terhadap umatnya. Kepedulian para pemimpin Islam terrefleksikan pada keinginan yang kuat untuk menyelamatkan manusia dari penderitaan, bukan hanya di dunia, tetapi di dunia dan akhirat. Ketika rakyatnya menderita, miskin, tertindas, maka sikap seorang pemimpin adalah bagaimana bisa menyelamatkan rakyat dan bangsanya, bukan mencari kesempatan di atas kesempitan. Dan contoh kepedulian telah dipraktikan oleh Rasulullah saw. dengan sempurna. Rasulullah saw. adalah manusia yang paling peduli, perhatian dan paling banyak berkorban untuk umatnya, sebagaimana disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 128.

Rahmat

Ihtimam, ukhuwah, dan dakwah merupakan refleksi dari rahmat yang terpancar kepada umatnya. Dan Rasulullah saw. bukan hanya bersikap rahmat bagi umat Islam, umat manusia, bahkan rahmat bagi semesta alam. Betapa besarnya rasa kasih sayang Rasulullah saw. kepada manusia sehingga beliau menginginkan bahwa semuanya beriman kepada Allah dan beriman kepada ajaran Islam. Dengan demikian mereka akan terbebas dari penderitaan yang maha berat, yaitu bebas dari api neraka. Inilah risalah beliau yaitu mengajak manusia agar mereka memperoleh hidayah Islam.

Rasulullah saw. rela mengorbankan segala kesenangan dunia demi untuk menyelamatkan umat manusia. Jika malam hari, beliau sangat khusyuk dan lama bermunjat kepada Allah swt. agar manusia terbebas dari pola hidup jahiliyah yang akan mengantarkan mereka kepada neraka. Dan jika siang hari Rasulullah saw. terus-menerus berdakwah dan berjihad untuk menyebarkan Islam kepada seluruh manusia. Dan seluruh aktivitas yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah ibadah, dakwah, dan kepedulian terhadap umatnya.

Kepedulian dan khidmah (pelayanan) adalah ciri khas pemimpin sejati dalam Islam. Sedangkan dalam manajemen modern, pelayanan atau service sangat diutamakan dan menempati posisi yang sangat penting. Maka bertemulah dua nilai yang saling mengokohkan, nilai Islam dan nilai-nilai universalitas modern. Dalam Islam ada kaidah yang bersumber dari salah satu riwayat hadits, berbunyi, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Ibnu Majah)

Hadits ini menurut para ulama sanadnya lemah, tetapi karena riwayatnya banyak sehingga saling menguatkan dan dapat sampai ke derajat hasan lighairihi (baik). Tetapi, sekali lagi bahwa makna hadits ini benar dan Rasulullah saw. sendiri adalah contoh dalam pelayanan dan kepedulian terhadap umatnya. Dan hadits ini sangat tepat dengan manajemen kepemimpinan modern.

Kepedulian tampaknya mudah diucapkan, tetapi hakikatnya susah direalisasikan. Ini karena manusia pada umumnya sangat mencintai dirinya sendiri dan sangat mementingkan diri sendiri, apalagi jika terkait dengan harta dan segala macam kesenangan dunia. Kepedulian hanya dapat direalisasikan jika seseorang memiliki kedalaman iman kepada Allah swt. dan hari akhir, seseorang yang sangat mengharapkan ridha Allah swt. dan kehidupan hari akhirat. Sehingga mereka akan banyak memberi, berkorban, dan peduli terhadap yang lain. Begitulah yang terjadi pada diri Rasulullah saw., para sahabat, dan generasi salafus shalih.

Dan ciri khas dari kedalaman iman akan tercermin dari kekhusukan dalam beribadah kepada Allah swt. dan akhlak yang terpuji terhadap sesama manusia. (Al-Fath: 29)

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4)


Wajib Mengawal Perubahan


Rasulullah saw. Bersabda, “Setiap Nabi mempunyai sahabat dan hawari yang selalu berpegang teguh dengan petunjuknya dan mengikuti sunnahnya. Lalu muncullah generasi pengganti (yang buruk) yang (hanya) mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang berjuang (untuk meluruskan) mereka dengan tangannya maka dia adalah mukmin. Dan barang siapa yang berjuang dengan lidahnya maka ia adalah mukmin. Dan barangsiapa berjuang dengan hatinya maka ia adalah mukmin. Dan tidak ada di belakang itu keimanan sedikit pun.” (Muslim)

Hadits Rasulullah saw. di atas menegaskan beberapa hal. Pertama, akan selalu terjadi perubahan pada kaum muslimin. Kedua, perubahan itu bisa menuju ke arah yang buruk. Ketiga, seorang mukmin harus berjuang untuk mengawal perubahan ke arah kebaikan dan perbaikan.

Dakwah adalah proyek mewujudkan perubahan. Pimpinan proyeknya adalah Rasulullah saw. Ordernya dari Allah swt. Makanya ketika Rasulullah saw. dimi’rajkan ke Sidratul-Muntaha, beliau tidak minta tetap tinggal di sana. Padahal beliau bisa menikmati ibadah, bertemu dengan para nabi yang diutus sebelum beliau, dan bahkan menjadi imam mereka. Beliau tetap turun lagi dan menjadi penghuni bumi yang sarat dengan berbagai tantangan dan persoalan. Ini karena beliau memang mendapat tugas untuk melakukan perubahan. Dan Rasulullah saw telah melakukannya dengan sukses. Hal ini dijelaskan dalam ayat-Nya: “Sungguh Allah telah benar-benar memberi karunia kepada orang-orang mukmin karena Dia telah mengutus pada mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah (Sunnah), meskipun mereka sebelum itu benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.” (Ali ‘Imran: 164)

Ayat itu menjelaskan bahwa Rasulullah saw. telah menjalankan proyek perubahan dan telah sukses dalam perjuangan melakukan perubahan itu. Proyek ini dimulai dengan pembangunan pondasi berupa individu-individu Muslim. Di atas pondasi itu dibangun keluarga-keluarga Islam. Dari keluarga-keluarga Islami terbentuklah masyarakat Islami. Dan itu semua merupakan bekal untuk dakwah melakukan perbaikan terhadap pemerintahan agar menjadi pemerintahan yang Islami. Tidak hanya sampai di situ saja. Dakwah juga terus bergerak untuk mengembalikan khilafah Islamiyyah. Dan dengan begitulah umat Islam akan menjadi guru peradaban bagi seluruh umat manusia atau yang sering diistilahkan dengan ustadziyyatul-‘alam.

Atas dasar itu, maka tidak boleh umat Islam tinggal diam dengan tidak memberikan pengaruh pada perubahan yang terjadi. Perubahan adalah sunnatullah. Perubahan akan terus bergulir. Jika tidak menuju yang baik pasti menuju keburukan. Jika bukan orang baik-baik yang mempengaruhi maka pasti orang-orang buruk yang melakukannya. Dan tanpa kesertaan orang-orang yang baik maka akan muluslah perusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk berkontribusi dan mengawal perubahan agar mengarah kepada perbaikan dalam segala sektor, di antaranya:

Pertama, mempersembahkan waktu, tenaga, harta untuk kemaslahatan Islam, umat Islam, dan umat manusia pada umumnya. Allah swt. Berfirman: “Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (At-Taubah: 120)

Ayat di atas memberikan informasi bahwa Allah tidak suka kepada orang yang berdiam diri dan tidak terlibat dalam perjuangan. Allah menyebutnya bahwa perbuatan itu tidak layak. Dan sebaliknya, kepada orang yang terlibat dalam perjuangan di jalan Allah untuk menyebarkan kebaikan dan hidayah Allah swt. dengan apa pun yang dimilikinya, Allah menjanjikan segala yang dilakukannya akan bernilai amal saleh. Tidak ada yang sia-sia dari orang yang berjuang di jalan Allah, sekecil apa pun perjuangannya.

Kedua, menghadirkan emosi dan semangat yang kuat untuk kejayaan Islam dan umatnya dan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat seluas-luasnya. Berbahagia saat Islam mendapatkan kemenangan-kemenangan dan merasa sedih bila Islam mendapatkan tekanan dan umat Islam mendapat ujian. Ia tidak rela bila Islam dihinakan dan bila kaum muslimin diinjak-injak. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, ia tidak termasuk golongan mereka.”

Perubahan hanyalah terjadi atas perkenan Allah swt. Dan manusia hanya bisa merencanakan dan memperjuangkan. Namun sebelum itu semua manusia harus memiliki semangat dan optimisme bahwa perubahan bisa terjadi. Jika dari awal kita sudah pesimis dan mengatakan bahwa keadaan tidak mungkin berubah, berarti kita sudah kalah sebelum bertarung. Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, “Aku (Allah) tergantung prasangka hamba-Ku terhadap-Ku.”

Ketiga, tidak cukup hanya emosi dan semangat itu. Banyak orang yang punya semangat menggebu-gebu untuk melakukan perubahan, namun yang keluar dari dirinya hanyalah umpatan, cacian, dan makian terhadap keadaan. Emosi dan semangat yang produktif adalah yang membawa seseorang untuk berpikir keras dan bekerja cerdas dalam rangka mencari jalan keluar dari segala problem yang merundung umat dan bangsa. Ia rela menjadikan dirinya sebagai bagian dari solusi dan bukannya menjadi masalah. Bahkan bila hal itu membuatnya menjadi “korban”.

Keempat, memerintah kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; menyeru manusia kepada jalan Islam dan jalan dakwah dengan cara hikmah dan nasihat yang baik. Itulah sifat yang melekat pada orang beriman dan tidak mungkin terpisahkan. “Dan orang-orang beriman laki-laki dan orang-orang beriman perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagiian lain, mereka memerintah kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (At-Taubah: 71)

Dalam kondisi apa pun amar ma’ruf dan nahi munkar tidak boleh diabaikan. Tidaklah sebuah kaum meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar melainkan pasti mereka menjadi kaum yang hina. Firman Allah, “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (Al-Maidah: 78-79)

Kelima, mengatakan yang benar di depan penguasa yang zhalim agar mereka tidak secara semena-mena menjalankan kekuasaan hanya menurut hawa nafsunya. Agar penguasa memimpin dengan penuh keadilan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Rasulullah bersabda, “Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zhalim.” (Al-Bukhari). Dalam hadits lain beliau bersabda, “Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdil-Muthalib dan orang yang berdiri di hadapan penguasa yang zhalim seraya memerintahnya (kepada yang ma’ruf) dan mencegahnya (dari yang munkar) lalu ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (Majma’uz-Zawaid 9: 271)

Jadi, jika kita melihat ada peluang untuk melakukan perubahan, jangan biarkan berlalu begitu saja. Apalagi membiarkannya dikendalikan oleh orang-orang yang menghendaki keburukan dan penyimpangan. Allahu a’lam.

Akidah Dan Perubahan


Rasulullah saw. bersabda, “Setiap Nabi mempunyai sahabat dan hawari yang selalu berpegang teguh dengan petunjuknya dan mengikuti sunnahnya. Lalu muncullah generasi pengganti (yang buruk) yang (hanya) mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang berjuang (untuk meluruskan) mereka dengan tangannya, dia adalah mukmin. Dan barang siapa yang berjuang dengan lidahnya, maka ia adalah mukmin. Dan barangsiapa berjuang dengan hatinya, maka ia adalah mukmin. Dan tidak ada di belakang itu keimanan sedikit pun.” (Muslim)

Perubahan harus dikawal dengan aqidah islamiyyah. Aqidah islamiyyah memberi keuntungan yang luar biasa bagi individu yang mencita-citakan perubahan, seperti yang telah dijelaskan pada tulisan bagian terdahulu. Namun bukan itu saja. Aqidah islamiyyah juga punya peran besar dalam menciptakan ketenteraman dan keharmonisan kehidupan sebuah masyarakat. “Keimanan kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir serta berserah diri kepada Allah dan patuh kepada agama-Nya telah meluruskan semua yang bengkok di dalam kehidupan dan mengembalikan setiap individu dalam masyarakat manusia kepada kedudukannya, tidak mengurangi dan tidak pula melebih-lebihkan martabatnya,” tulis Maududi. (Kerugian Dunia Akibat Kemorosotan Kaum Muslimin, hal.127, th. 88)

Perubahan harus dikawal dengan aqidah islamiyyah. Aqidah islamiyyah memberi keuntungan yang luar biasa bagi individu yang mencita-citakan perubahan, seperti yang telah dijelaskan pada tulisan bagian terdahulu. Namun bukan itu saja. Aqidah islamiyyah juga punya peran besar dalam menciptakan ketenteraman dan keharmonisan kehidupan sebuah masyarakat. “Keimanan kepada Allah, Rasul-Nya, dan hari akhir serta berserah diri kepada Allah dan patuh kepada agama-Nya telah meluruskan semua yang bengkok di dalam kehidupan dan mengembalikan setiap individu dalam masyarakat manusia kepada kedudukannya, tidak mengurangi dan tidak pula melebih-lebihkan martabatnya,” tulis Maududi. (Kerugian Dunia Akibat Kemorosotan Kaum Muslimin, hal.127, th. 88)

Aqidah Islam telah behasil menghadirkan tonggak-tonggak masyarakat sejahtera dan berkeadilan. Tonggak-tonggak itu adalah: (1) Kebebasan jiwa; (2) Persamaan kemanusiaan yang sempurna; (3) Aktifitas amar ma’ruf dan nahi munkar; dan (4) Solidaritas sosial yang kuat. Tanpa keempat tonggak itu mustahil tercipta kedamaian, ketenteraman, dan kesejahateraan pada sebuah mansyarakat. Secara konsepsional dan empiris, keempat tonggak itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, kebebasan jiwa. Tidak akan terjalin interaksi harmonis antar anggota masyarakat tanpa kebebasan jiwa setiap anggota masyarakat tersebut. Dalam keadaan jiwa terikat, dihantui ketakutan, atau terbelenggu dengan perbudakan oleh sesama manusia, mustahil ada hubungan harmonis itu. Yang akan lahir adalah justeru perilaku-perilaku semu dan sikap-sikap terpaksa. Dalam keadaan demikian, kehidupan masyarakat hanya akan merupakan kumpulan keluhan dan daftar kesengsaraan. Yang kuat akan menjadi penguasa. Dan yang lemah akan menjadi budak pengabdi, tanpa punya pilihan. Dan adalah kondisi paling berbahaya dalam kehidupan jika antar manusia diciptakan hubungan tuhan-hamba.

Dan kemerdekaan jiwa itu hanya dilahirkan dari aqidah yang benar. Penanaman kebebasan jiwa dilakukan oleh Islam dengan menegaskan bahwa manusia harus terbebas dari peribadatan, pengabdian, kepatuhan dan loyalitas kepada selain Allah; bahwa tidak seorang pun yang memiliki kekuasaan menghidupkan dan mematikan selain Allah; bahwa sumber rezeki dan yang menentukan kepada siapa rezeki itu diberikan hanyalah Allah; serta, bahwa hanya Allah pula yang memberikan keselamatan dan bahaya (madharat).

“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang berkuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup; dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Mereka akan menjawab: ‘Allah’.” (Yunus: 31)

Dengan demikian aqidah Islam adalah motivator dan orang beriman adalah pelopor perlawanan terhadap segala upaya mempertuhankan manusia oleh sesama manusia. Sebab hal itu bertentangan secara diametral dengan pembebasan jiwa manusia. “Maka itulah Allah Rabb kamu yang benar. Maka tiadalah setelah kebenaran itu selain kesesatan.” (Yunus: 32). Dan salah satu butir Piagam Madinah –sebuah kesepakatan antara kaum muslimin dengan penduduk Madinah– adalah “Janganlah sebagian kita menjadikan sebagian lain sebagai tuhan”. Ini sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an di surat Ali Imran ayat 64.

Katakanlah: “Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”. jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.

Kedua, persamaan kemanusiaan yang sempurna. Di atas tonggak pertama itu dibangunlah tonggak berikutnya: persamaan kemanusian yang sempurna. “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian (terdiri) dari laki-laki dan wanita; dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.” (Al-Hujurat: 15). Ayat ini menegaskan bahwa terhormat dan terhinanya manusia tidak dibedakan berdasarkan ras, suku, warna kulit, kebangsaan, kekayaan, jabatan, dan ukuran-ukuran picik lainnya.

Rasulullah saw., saat melakukan haji wada’ (pamungkas) menegaskan pula, “Sesungguhnya darah-darah kalian dan kehormatan kalian haram (untuk dilanggar) oleh kalian, kecuali dengan hak Islam. Tiada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab dan tidak keutamaan bagi non-Arab atas orang Arab; tidak ada keutamaan bagi orang berkulit putih atas kulit hitam dan tidak pula orang berkulit merah atas kulit putih, melainkan dengan taqwa. Kalian semua berasal dari Adam. Sedangkan Adam berasal dari tanah.”

Manakala penghargaan kepada seseorang diberikan berdasarkan prestasinya dalam kebaikan dan kebenaran dan bukan didasarkan pada asal-usul, ras atau sukunya, ini pertanda baik. Sebab hal itu akan melahirkan suasana yang kondusif bagi terwujudnya persaingan sehat antar warga masyarakat. Setiap orang, tanpa dibedakan oleh perbedaan-perbedaan yang bersifat taqdir –seperti warna kulit dan kebangsaan– mempunyai peluang yang sama besar untuk membaktikan segala potensi dan kemampuannya untuk mewujudkan keinginan-keinginannya. Sayyid Quthb menegaskan, “Islam bersih dari fanatisme suku dan ras; dan persamaan derajat yang diciptakannya sudah sampai pada tingkatan yang selama ini belum pernah dicapai oleh peradaban Barat, sampai detik ini sekalipun; sebuah peradaban yang memberi justifikasi kepada bangsa Amerika untuk memusnahkan bangsa Indian berkulit merah melalui penumpasan terencana, di depan mata dan telinga dunia internasional; yang memberi justifikasi kepada penguasa Afrika Selatan untuk menindas orang kulit hitam melalui undang-undang rasialis; dan memberi justifikasi pula kepada penguasa Rusia, China, dan India untuk menumpas kaum Muslimin di wilayah mereka.”

Ketiga, aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar. Masyarakat yang dilandasi aqidah Islam akan sangat peduli tentang nasib lingkungannya. Karenanya, mereka selalu melakukan aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar. Dengan demikian setiap anggota masyarakat secara otomatis menjadi pengontrol terhadap perjalanan kehidupan masyarakatnya dan pemerintahannya. “Dan orang-orang beriman itu, baik laki-laki maupun perempuan, sebagian mereka adalah penolong (pemimpin) bagi sebagian lain; mereka menyuruh melakukan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (At-Taubah: 71)

Cukuplah menjadi alasan datangnya bencana dari Allah jika sebuah masyarakat telah tercerabut kepeduliannya terhadap perilaku anggota masyarakatnya; jika mereka lebih memilih selamat diri sendiri daripada melakukan koreksi terhadap apa yang terjadi di sekitarnya; jika mereka takut untuk mengatakan yang benar sebagai benar dan yang salah adalah salah. Dan bencana yang kini menimpa negeri tercinta ini pun tidak lepas dari adanya kelalaian untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar itu. Rasulullah saw. bersabda, “Demi Zat Yang diriku ada di tangan-Nya, perintahlah kepada yang ma’ruf dan cegahlah dari yang munkar, atau (jika tidak kamu lakukan), maka Allah akan mengirimkan kepada kalian siksa dari sisi-Nya, kemudian kalian memohon kepada-Nya dan tidak dikabulkan.” (Hadits Hasan riwayat At-Tirmidzi)

Keempat, solidaritas sosial yang kuat. Ajaran keimanan yang diterima oleh umat beriman menetapkan bahwa berbuat baik kepada sesama manusia adalah syarat kesempurnaan iman. Misalnya saja, di antara tuntutan iman itu: tidak mengolok-olok, tidak mencela, tidak memanggil orang lain dengan panggilan yang tidak menyenangkan, tidak buruk sangka, tidak memata-matai kesalahan orang lain, dan tidak menggibah (menggunjing). Lihat surat Al-Hujurat ayat 11-12.

Di samping itu tidak sedikit hadits yang menegaskan bahwa kesempurnaan iman seseorang terkait denga perilakunya terhadap sesama manusia. Misalnya Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah beriman kepadaku (dengan sempurna) orang yang bermalam dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahuinya.”

Dalam hadits lain Rasulullah saw. menegaskan, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan kepada hari akhirat, maka hendaklah ia berbicara yang baik atau (jika tidak bisa maka) diamlah.” Sabdanya pula, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan kepada hari akhirat, maka hendaklah ia menghormati tetangganya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan kepada hari akhirat, maka hendaklah ia menghormati tamunya.”

Itu bisa dipertegas lagi dengan adanya kewajiban zakat dan anjuran infaq, shadaqah, serta derma tidak mengikat lainnya. Tidak kurang dari 32 tempat dalam Al-Qur’an Allah mengiringi kewajiban shalat dengan kewajiban zakat. “Ambillah zakat dari harta mereka yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At-Taubah: 103)

Semua itu menegaskan bahwa aqidah telah mempunyai peran penting dalam mewujudkan kehidupan sosial yang ideal. Jadi, tanpa menyertakan aqidah untuk mewujudkan perubahan masyarakat, yang akan terjadi hanyalah kumpulan manusia yang meluncur ke jurang kehancuran yang sangat dalam. Allahu a’lam.